Senin, 25 Mei 2009

Upaya Guru Dalam Meningkatkan Pendidikan

Senin, 25 Mei 2009
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa
Jl. RS. Fatmawati Jakarta Selatan 12410
email : info@ditplb.or.id
http://www.ditplb.or.id

A. Pengertian Guru
Pendidik sering pula disebut dengan guru, istilah guru sebagaimana dijelaskan oleh Hadari Nawawi, adalah “orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah / kelas.” Secara khusus ia mengatakan bahwa “guru berarti orang yang bekerja dalam bidang Pendidikan dan Pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing. Guru dalam pengertian tersebut, menurutnya bukanlah sekedar orang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan tetapi adalah anggota masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang dewasa.
Dari segi bahasa, pendidik atau guru, sebagaimana dijelaskan oleh WJS. Poerwodarminto adalah “orang yang mendidik.” Pengertian ini memberi kesan, bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan mendidik. Dalam bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan pendidik. Seperti teacher yang diartikan dengan guru atau pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi, atau guru yang mengajar di rumah.” Dalam bahasa Arab dijumpai kata Ustadz yang berarti teacher (guru) atau professor (gelar akademik = guru besar), mudaris yang berarti teacher (guru) atau instructor (pelatih) dan lecturer (dosen), mu’alim yang juga berarti (guru), atau instructor (pelatih), serta trainer (pemandu), dan juga kata mu’addib yang berarti educator (pendidik)
B. Fungsi dan Tugas Guru
Pendidik (guru) menurut petunjuk Al-Quran secara garis besar ada empat, yaitu :
1. ALLAH SWT, sebagai Maha Guru tertinggi ALLAH SWT, menginginkan umat manusia menjadi baik dan bahagia hidup di dunia dan di akhirat. Dengan seluruh sifat yang melekat padaNya ALLAH SWT sebagai Maha Guru tertinggi. Ia memiliki pengetahuan yang Maha Luas (Al-Alim), ia juga sebagai Pencipta, memiliki sifat Pemurah; tidak kikir dengan ilmuNya, Maha Tinggi, Penentu, Pembimbing, Penumbuh Prakarsa, mengetahui kesungguhan manusia yang beribadah kepadaNya, mengetahui siapa yang baik dan siapa yang jahat, menguasa cara-cara atau metode dalam membina umatNya antara lain melalui penegasan, perintah, pemberitahuan, kisah, sumpah, keteladanan pembatahan, mengemukakan teka-teki, mengajukan pertanyaan, memperingatkan, mengutuk dan meminta perhatian. (QS. Al-Alaq, Al-Qalam, Al-Muzammil, Al-Mudatsir, Al-Lahab, Al-Taqwir, dan Al-Ala).
2. Nabi Muhammad SAW, dan nabi-nabi lainnya. Para nabi menyampaikan ajaran ALLAH SWT kepada umat manusia. Ajaran yang diterima umat manusia dapat memberi petunjuk mengenai kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat. Sebagai guru, nabi melalui pendidikannya kepada anggota keluarganya yang terdekat, dilanjutkan kepada orang-orang yang ada disekitarnya. Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW, sebagai seorang guru kepada umatnya, tugasnya dapat dilaksanakan dengan hasil yang memuaskan, sehingga ajaran Islam melekat dan menjadi yang tak terpisahkan dari perilaku dan prikehidupan kaum muslimin sehari-hari. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari metode yang digunakan oleh nabi, yaitu dengan cara menyayangi, keteladanan yang baik mengatasi penderitaan dan masalah yang dihadapi oleh umatnya.
Guru adalah istilah yang lazim digunakan oleh kalangan masyarakat untuk seseorang yang melakukan kegiatan pendidikan baik di lembaga formal maupun bukan. Ahmad Tafsir misalnya mengatakan bahwa : “Pendidikan dalam Islam, sama dengan di barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Selanjutnya ia mengatakan bahwa dalam Islam “orang yang bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal : pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga.”
Bergesernya tugas dari orang tua kepada orang lain (guru) lebih lanjutnya dijelaskan oleh Ahmad Tafsir. Menurutnya, pada mulanya tugas mendidik itu adalah murni tugas kedua orang tua, akan tetapi karena perkembangan pengetahuan, ketrampilan, sikap serta kebutuhan hidup sudah sedemikian luas dan komplek, maka orang tua tidak mampu lagi melaksanakan tugas-tugas mendidik anaknya. Hal tersebut sejalan perkembangan masyarakat. Misalnya dari sejak Nabi Adam SAW, maka tugas mendidik yang pertama kali ALLAH SWT yang bertindak selaku Privat Teacher, karena hal itu tidak mungkin dapat diwakilkan. Tetapi setelah keluarga Nabi Adam SAW berkembang luas, maka tugas mendidik masyarakat diwakilkan kepada para Nabi yang diangkat oleh ALLAH SWT, sendiri, selanjutnya oleh orang tua kemudian orang lain atau guru.
3. Kedua orang tua, Al-Quran menyebutkan, bahwa orang tua sebagai guru harus memiliki hikmah atau kesadaran tentang kebenaran yang diperoleh melalui ilmu dan rasio; dapat bersyukur kepada ALLAH SWT, suka menasehati anaknya agar tidak mensekutukan Tuhan; memerintahkan anaknya agar menjalankan shalat, sabar dalam menghadapi penderitaan, tidak sombong dan takabur, Luqman : 12-19).
4. Orang lain, informasi yang amat jelas mengenai hal antara lain terdapat dalam Al-Quran surat Al-Kahfi ayat 60-82 tentang proses belajar mengajar antara nabi Khaidir SAW kepada nabi Musa SAW. Bahwa dalam proses belajar hendaknya muridnya berlaku sabar dan agar tidak bertanya sebelum dijelaskan, dan lain-lain. Orang yang keempat inilah yang selanjutnya disebut guru.”
Guru sebagai seorang pendidik yang memiliki tugas amat mulia, baik disisi manusia maupun dalam pandangan ALLAH dan RasulNya. ALLAH menjanjikan pahala surga bagi mereka yang mengamalkan ilmunya dan mengancamnya dengan api neraka terhadap mereka yang menyembunyikan ilmunya.
Tugas guru sebagaimana dijelaskan oleh S. Nasution, terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Sebagai orang ang mengkonsumsikan pengetahuan.
2. Guru sebagai model dan contoh nyata dari yang dikehendaki oleh mata pelajaran.
3. Menjadi model sebagai pribadi, seperti berdisiplin, cermat berpikir, mencintai pelajarannya.
Karena tugasnya yang mulia, seorang guru menempati posisi yang mulia dan mendapat penghormatan yang tinggi, jasanya amat banyak dan yang terpenting adalah :
1. Guru sebagai pemberi pengetahuan yang benar kepada muridnya.
2. Guru sebagai Pembina akhlak yang mulia.
3. Guru sebagai pemberi petunjuk kepada anak tentang hidup yang baik.”
Keberhasilan mendidik seorang guru sangat ditentukan oleh keberhasilan pimpinannya dalam mengelola tenaga kependidikan yang tersedia di sekolah. Dalam hal ini, peningkatan produktivitas dan prestasi kerja dapat dilakukan dengan meningkatkan perilaku manusia di tempat kerja di mana guru mengajar melalui aplikasi konsep dan teknik manajemen personalia modern.
Manajemen tenaga pendidikan atau manajemen personalia pendidikan bertujuan untuk mendayagunakan tenaga pendidikan bertujuan untuk mendayagunakan tenaga kependidikan secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal, namun tetap dalam kondisi yang menyenangkan.” Manajemen tenaga guru mencakup :
1. Perencanaan tenaga guru
2. Pengadaan tenaga guru
3. Pembinaan dan pengembangan tenaga guru
4. Promosi dan mutasi
5. Pemberhentian tenaga guru
6. Kompensasi guru
7. Penilaian tenaga guru
Semua itu perlu dilakukan dengan baik dan benar agar apa yang diharapkan dapat tercapai, yakni tersedianya tenaga guru yang diperlukan dengan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai serta dapat melaksanakan tugas mendidiknya dengan baik dan berkualitas.
Disamping memiliki kompetensi bidang pengetahuan yang menjadi disiplin ilmu dan prosionalitasnya, seorang guru harus memiliki sifat-sifat pendidik yang baik, terutama oleh guru.
Muihammad Athiyah Al-Abrasyi menyebutkan tujuh sifat yang harus dimiliki guru :
1. Seorang guru harus memiliki sifat Zuhud, yaitu tidak mengutamakan untuk mendapatkan materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharapkan keridhoan ALLAH semata-mata.
2. Seorang guru memiliki jiwa yang bersih dari sifat dan akhlak yang buruk.
3. Seorang guru harus ikhlas dalam melaksanakan tugasnya.
4. Seorang guru harus bersifat pemaaf terhadap muridnya.
5. Seorang guru harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang bapak sebelum ia menjadi seorang guru.
6. Seorang guru harus mengetahui bakat, tabiat, dan watak murid-muridnya.
7. Seorang guru harus menguasai bidang studi yang diajarkan.”
Sisfat tersebut diatas garis besarnya dibagi menjadi sifat yang berkaitan dengan kepribadian dengan sifat yang berkaitan dengan keahlian akademik.
Sifat-sifat tersebut bisa ditambah dengan sifat-sifat sekunder misalnya seni dan humor, sifat lainnya adalah dapat melakukan kerjasama dengan orang tua murid terutama murid yang kurang mampu menerima pelajaran dan lain-lain.
C. Pengertian Pendidikan
Kata pendidikan sering diartikan bermacam-macam. Dalam kehidupan sehari-hari kata pendidikan adakalanya diartikan dengan lembaga pendidikan dan adakalanya diartikan dengan hasil pendidikan, seperti: pendidikannya SMP berarti sekolah/lembaga pendidikan: pendidikannya SMEA berarti menunjukkan kepada hasil pendidikannya.
Dalam buku-buku tentang pendidikan seringkali pengertian pendidikan diartikan/didefinisikan orang berbeda-beda: menurut Dictionari of Education; pendidikan diartikan:
1. Serangkaian proses dengannya seseorang / anak mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk lainnya yang bernilai / berguna di masyaakat.
2. Proses sosial dimana orang-orang atau anak-anak dipengaruhi dengan lingkungan yang (sengaja) dipilih dan dikendalikan (misalnya oleh guru di sekolah) sehingga mereka memperoleh kemampuan-kemampuan sosial dan perkembangan individu yang optimal.”
Beberapa ahli lain mengartikan pendidikan sebagai berikut :
1. Langeveld : mendidik ialah mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja. Pendidikan hanya terdapat dalam pergaulan yang disengaja antara orang dewasa orang dewasa dengan anak dan diarahkan kepada tujuan pendidikan.
2. Hoogveld : mendidik membantu anak supaya ia cakap dalam menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri.
3. SA. Branata, dkk : pendidikan ialah usaha yang sengaja diadakan, baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung, untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan.
4. Ki Hajar Dewantara “mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
Sejalan dengan definisi-definisi yang dikemukakan para ahli diatas, ada juga yang berpendapat bahwa dalam pengertian pendidikan itu terkandung hal-hal yang pokok sebagai berikut :
1. Bahwa pendidikan itu tidak lain adalah merupakan suatu usaha dari manusia.
2. Bahwa usaha itu dilakukan dengan sengaja atau secara sadar.
3. Bahwa usahanya itu dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab kepada hari depan anak didiknya.
4. Bahwa usahanya berupa bantuan atau bimbingan rohani dan lakukan secara teratur dan sistematis.
5. Bahwa yang menjadi objek pendidikan itu adalah anak/peserta didik yang masih dalam pertumbuhan/perkembangan atau masih memerlukan pendidikan.
6. Bahwa batas/sasaran akhir pendidikan adalah tingkat kedewasaan.”
Berdasarkan kenyataan yang terkandung dalam pengertian pendidikan yang ditemukan para ahli diatas dapat kita simpulkan bahwa pendidikan itu adalah sadar dari orang dewasa untuk membantu atau membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak / peserta didik secara teratur dan sistimatis kearah kedewasaan.
Dalam Al-Quran banyak ayat-ayat yang berkaitan dengan pendidikan seperti : Pada surat An-Nahl ayat 125 :
Artinya : “Ajaklah kepada agama Tuhanmu dengan cara yang bijaksana dan dengan nasehat yang baik.”
Definisi pendidikan tersebut sejalan dengan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) dan Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional.
Menurut GBHN (Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973) dikatakan bahwa : “Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.”
Dan menurut ketentuan umum, Bab 1 pasal 1 Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, menjelaskan bahwa :
“Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi perannya dimasa yang akan datang.”
D. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pendidikan
Ilmu pendidikan mengemukakan beberapa macam faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pendidikan. Para ahli pendidikan membagi faktor-faktor pendidikan tersebut menjadi 5 faktor yaitu :
1. Faktor pendidikan;
2. Faktor anak didik;
3. Faktor tujuan;
4. Faktor alat;
5. Faktor milieu / lingkungan
Faktor tujuan dan faktor alat pendidik, faktor anak didik dan faktor milieu / lingkungan diuraikan sebagai berikut :
1. Faktor Pendidik
Menurut Langeveld “pendidik” adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pendidikan atau kedewasaan seorang anak. Jadi sebenarnya seseorang disebut pendidik itu karena adanya peran dan tanggung jawabnya dalam mendidik seorang anak.
Menurut langeveld yang termasuk faktor pendidik itu adalah :
- Orang tua;
- Orang dewasa lain yang bertanggung jawab terhadap kedewasaan seorang anak, misalnya : guru dan wakil-wakil dari orang tua yang diserahi mengasuh/mendidik anak.
Dalam ilmu pendidikan. Kedudukan orang tua disebut sebagai pendidik kodrat/primair, karena secara kodrat memang anak berasal dari orang tua, sehingga orang tualah yang mempunyai tanggung jawab primer (penanggung jawab utama) dalam mendidik anak. Disamping itu orang tua juga berfungsi sebagai pendidik pertama dan utama, karena dari orang tualah anak pertama kali memperoleh dasar-dasar pendidikan yang sangat penting artinya bagi perkembangan pribadi atau kehidupannya.
Dan orang tua disebut sebagai pendidikan utama, karena orang tualah yang mempunyai kesadaran dan cinta kasih yang mendalam untuk mengasuh / mendidik anaknya dengan penuh tanggung jawab dan kesabaran. Lagi pula kesempatan untuk mendidik/memperoleh pendidikan bagi si anak lebih banyak orang tua, mengingat sebagian besar waktu hidup anak banyak di rumah bersama dengan orang tuanya. Atas dasar itulah maka pendidik-pendidik lainnya termasuk tingkat kedua / sekunder, meskipun tugas dan tanggung jawabnya tidak berbeda dengan orang tua dalam mendidik atau dalam mengarahkan kedewasaan si anak semua pendidik baik yang primer atau sekunder tugasnya sama yaitu mendidik. Mendidik adalah suatu tugas yang luhur, oleh karena itu seseorang yang bertugas sebagai pendidik haruslah mempunyai kesenangan bekerja / bergaul dengan orang lain / anak serta mempunyai sifat kasih sayang kepada orang lain / anak. Dengan demikian sikap pendidik harus senang dan cinta kasih sayang kepada anak didik dan dengan penuh rasa tanggung jawab, adil dan jujur pendidik berusaha mewujudkan kesejahteraan bagi anak didiknya.
Undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 pada pasal 5 dan 6 sebagai berikut :
Pasal 5 :
1. Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
2. Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak meperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
5. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang ayat.
Pasal 6 :
1. Setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
2. Setiap warga Negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Selanjutnya dalam UU tersebut diatur juga hak dan kewajiban “Peserta didik” disebutkan dalam pasal 12 sebagai berikut .
1) Setiap peserta didik pada setiap tahun pendidikan berhak :
a. Mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
b. Mendapat pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
c. Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan.
d. Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu mebiayai pendidikan.
e. Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara
f. Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
2) Setiap peserta didik berkewajiban :
a. Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses keberhasilan pendidikan,
b. Ikut menanggung biaya penyelenggara pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
2. Faktor Anak Didik / Peserta Didik
Sebagai “anak didik” dalam ilmu pendidik tidak terlepas kaitannya dengan sifat ketergantungan seseorang anak terhadap pendidik tertentu. Seseorang anak disebut anak didik apabila ia menjadi tanggung jawab pendidik tertentu. Sebutan anak didik harus dikait dengan seorang pendidik tertentu. Dan pendidik yang dimaksud disini adalah seorang yang bertanggung jawab terhadap pendidikan si anak-anak yang dimaksud adalah anak yang mempunyai sifat ketergantungan kepadanya (pendidik.
Menurut Langeveld, anak didik adalah anak atau orang yang belum dewasa atau belum memperoleh kedewasaan atau seseorang yang masih menjadi tanggung jawab seorang pendidik tertentu anak didik tersebut adalah anak yang memiliki sifat ketergantungan kepada pendidiknya itu, karena ia secara alami tidak berdaya ia sangat memerlukan bantuan pendidikannya untuk dapat menyelenggarakan dan melanjutkan hidupnya baik secara jasmaniah maupun rohaniah.
Sifat khas anak didik dapat ditemukan sebagai berikut :
1. Anak didik adalah seseorang yang belum dewasa atau belum memperoleh kedewasaan; ia masih menjadi tanggung jawab seorang pendidik tertentu.
2. Anak didik adalah anak yang sedang berkembang; sejak lahir sampai meninggal anak mengalami perkembangan karena itu pendidik harus membantu membimbing perkembangan anak baik perkembangan jiwanya. Pengetahuannya dan penguasaan diri terhadap lingkungan sosialnya. Untuk itu maka setiap pendidik harus mengerti betul perkembangan kejiwaan anak.
3. Dasar hakiki anak didik adalah dapat didik dan harus dididik. Anak hakikatnya adalah “animal educandum” yaitu makhluk yang dapat dididik, karena anak mempunyai bakat dan disposisi-disposisi yang memungkinkan pendidikan dan anak harus dididik karena hakikatnya anak memiliki benih-benih sebagai makhluk susila tetapi tanpa pendidikan anak tidak mungkin memiliki pribadi susila (Prof. Dr. Sutari Imam Barnadib, 1987).
Di lingkungan keluarga, anak belajar sebagai anggota keluarga turut serta dalam pergaulan dengan orang lain, berbuat meniru orang tua, orang lain. Mengadakan eksplorasi untuk mengembangkan minat kemampuan berfikir, berlatih dalam kebiasaan, tingkah laku yang baik, keterampilan bekerja, keterampilan sosial, menerima, mencintai, menolong dan bekerja sama dengan orang lain, membiasakan diri dalam hal berdoa dan beribadat.
Dan dilingkungan sekolah, anak didik/siswa belajar berperan sebagai anggota masyarakat sekolah, yaitu : menjalankan aturan tata tertib sekolah, bekerja sama dengan guru, kepala sekolah dan petugas kependidikan lainnya, belajar mengembangkan minat terutama kepada bidang ilmu pengetahuan sehingga mempunyai kemampuan berfikir ilmiah untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi.
Faktor anak didik tersebut menurut Undang-Undang. Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 tahun 2003.
Berdasarkan UUSPN Nomor 20 tahun 2003, pasal 5 dan 6 yang termasuk faktor anak didik sekarang ini mencakup pengertian “peserta anak didik” yaitu anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Anggota masyarakat yang peserta didik tersebut dapat dirinci menjadi : siswa, mahasiswa, warga belajar dan anak didik. Siswa adalah sebutan peserta didik untuk jenjang pendidikan dasar; mahasiswa untuk pendidikan tinggi; warga belajar sebutan peserta didik untuk satuan pendidik luar sekolah seperti kursus, kelompok belajar, penyajian/majelis tahlim dan sebagainya. Dan anak didik sebagai sebutan peserta didik untuk jenjang pendidikan pra sekolah Faktor Lingkungan/Milieu.
Faktor milieu atau alam sekitar atau lingkunan sekitar merupakan salah satu faktor yang penting peranannya dalam pendidikan. Diantara ahli pendidikan ada yang memasukkan faktor lingkungan ini kedalam faktor pendidikan. Dengan alasan kedua-keduanya sama mempengaruhi si anak. Tetapi kebanyakan ahli didik tidak sependapat, karena menurut pendapatnya pengaurh lingkungan berbeda dengan pengaurh pendidik terhadap anak didik; yaitu pengaruh pendidik terhadap anak didik; yaitu pengaruh pendidik sifatnya bertanggung jawab. Pengaruh lingkungan sekitar dapat bersifat positif dan dapat pula negative, karena itu sangat beruntunglah seorang anak yang tinggal atau hidup di lingkungan alm sekitar yang memberikan / menyediakan pengaruh yang positif. Mengingat faktor lingkungan yang demikian pengaruhnya terhadap anak didik, maka sudah menjadi tugas kewajiban para pendidik / orang tua untuk mengantisipasi dan menghindarkan pengaruh-pengaruh negative dan lingkungan serta berupaya menyediakan pengaruh lingkungan yang positif yang dapat menunjang perkembangan kepribadian si anak.
Faktor lingkungan yang dimaksud disini ialah segala sesuatu yang ada disekitar / disekeliling anak. Faktor lingkungan ini ada yang membagi menurut wujudnya dan ada pula yang membagi dan menggolongkan kedalam lingkungan pendidik.
Menurut wujudnya milieu / lingkungan ini dibagi menjadi 4 bagian :
1. Lingkungan berwujud manusia seperti orang tua / keluarga, teman-teman bermain, tetangga, teman sekolah dan kenalan-kenalan lain.
2. Lingkungan kesenian berupa bermacam-macam petunjukan seperti gambar hidup, wayang, ketoprak, sandiwara dan lain-lain pertunjukan seperti yang ditayangkan di TV.
3. Lingkungan berwujud kesustraan, seperti bermacam-macam lisan atau bacaan yang ada di Koran, majalah dan buku-buku lainnya.
4. Lingkungan berwujud tempat yaitu seperti tempat tinggal di mana anak dibesarkan, iklim dan tempat / daerah dimana anak tinggal, dan lain-lain. .
Adapula sementara pendidik yang membagi milieu / lingkungan alam sekitar enjadi 4 bagian, yaitu :
1. Lingkungan fisik / tempat seperti keadaan iklim, keadaan tanah, keadaan alam.
2. Lingkungan budaya yaitu warisan budaya tertentu seperti bahasa seni, ekonomi, ilmu pengetahuan, pandangan hidup, keagamaan.
3. Lingkungan sosial / masyarakat (kelompok hidup bersama) seperti keluarga, kelompok bermain, desa, perkumpulan.
4. Lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan sekitar yang sengaja digunakan sebagai alat dalam proses pendidikan seperti pakaian, keadaan rumah, alat permainan, buku-buku, alat-alat peraga dan lain-lain (Drs. Wens Tanlain, MPd, dkk 1989).
Ki Hajar Dewantara membagi faktor lingkungan ini menjadi 3 bagian yang terkenal dengan istilah “Tri Pusat Pendidikan”, yaitu tiga pusat lingkungan pendidikan, yaitu
1. Lingkungan keluarga,
2. Lingkungan sekolah,
3. Lingkungan masyarakat / organisasi pemuda.
3. Faktor Tujuan
Tujuan pendidikan merupakan faktor utama yang harus diperhatikan, disadari dan dijadikan sasaran oleh setiap pendidik yang melaksanakan kegiatan pendidikan. Oleh karena itu setiap kegiatan atau tindakan pendidikan yang dilakukan pendidik harus sengaja diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dan tujuan-tujuan pendidikan yang dicapai tersebut jangkauan jauhnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan berikut ini akan dibicarakan mengenai apa sebenarnya tujuan pendidikan. Apa macam-macam tujuan pendidikan yang harus diperhatikan oleh pendidik ? serta bagaimana tujuan pendidikan Indonesia.
A. Hakikat tujuan pendidikan
Dalam setiap usaha atau kegiatan tertentu ada tujuan atau target sasaran yang akan dicapai. Demikian pula kegiatan / usaha pendidikan sengaja dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Oleh karena yang menjadi objek pendidikan adalah anak / peserta didik, dan tugas pendidikan adalah mempengaruhi pembentukan pribadi peserta didik, maka berarti target sasaran yang akan dicapai dalam setiap kegiatan pendidikan adalah bentuk manusia yang diharapkan terjadi pada diri peserta didik dalam rangka pembentukan pribadinya.
Dengan demikian tujuan pendidikan itu tidak lain adalah target sasaran yang akan dicapai dalam setiap kegiatan pendidikan atau rumusan bentuk manusia yang akan dicapai oleh kegiatan / usaha pendidikan yang dilakukan oleh seorang pendidik.
B. Macam-macam Tujuan Pendidikan
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pendidikan itu hasilnya tidak dapat segera kita lihat dan kita rasakan, karena pendidikan itu merupakan suatu usaha yang sangat komplek dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Hasil pendidikan / hasil akhir pendidikan itu merupakan keseluruhan daripada hasil-hasil pendidikan yang dicapai secara bertahap dari bagian-bagian pendidikan sebelumnya. Oleh karena itu untuk dapat mencapai tujuan akhir tersebut mencapai macam-macam tujuan pendidikan yang harus mereka alami. Untuk itu para pendidik harus mengetahui beberapa macam tujuan pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof dr. Langeveld sebagai beirkut :
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
3. Tujuan incidental / seketika
4. Tujan sementara
5. Tujuan tidak lengkap
6. Tujuan perantara / intermedier
1. Tujuan umum
Tujuan umum ini sering disebut tujuan akhir, atau tujuan total atau tujuan lengkap.
Tujuan umum berarti tujuan total atau yang lengkap yaitu tujuan yang pada akhirnya akan dicapai oleh pendidik terhadap anak didik yaitu terwujudnya kedewasaan jasmani dan rohani.
Menurut Kohnstamm dan gunning, tujuan akhir pendidikan itu ialah membentuk insane kamil atau manusia sempurna.
Dengan demikian tujuan umum / akhir pendidikan ialah membentuk insane kamil yaitu manusia yang dewasa jasmani dan rohaninya baik aspek moral, intelektual, sosial, estetis, agama dan lain sebagainya.
2. Tujuan khusus
Tujuan ini merupakan pengkhususan daripada tujuan umum, karena untuk menuju kepada tujuan umum itu perlu adanya pengkhususan tujuan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi tertentu, misalnya disesuaikan dengan :
a. Cita-cita pembangunan suatu masyarakat / bangsa
b. Tugas suatu badan atau lembaga pendidik
c. Bakat dan kemampuan anak didik
d. Kesanggupan-kesanggupan yang ada pada pendidik
e. Tingkat pendidik, dan sebagainya.
3. Tujuan seketika / insidentil
Tujuan ini disebut tujuan seketika / insidentil karena tujuan ini timbul secara kebetulan, secara mendadak dan hanya bersifat sesaat misalnya :
Suatu ketika seorang ayah memanggil anaknya yang sedang bermain untuk shalat dengan tujuan agar si anak patuh dan memenuhi kewajiban shalat. Disaat yang lain sang ayah memanggil anaknya yang edang bermain tidak bermaksud apa-apa hanya mengajaknya jalan-jalan mencoba sepeda motornya yang baru.
Tujuan seketika ini meskipun hanya sesaat dapat memberikan andil dalam pencapaian tujuan. Selanjutnya karena melalui tujuan-tujuan seperti ini dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman langsung yang erat hubungannya nanti di masa yang akan datang.
4. Tujuan sementara
Tujuan sementara adalah tujuan pendidikan yang dicapai si anak pada tiap fase perkembangan, misalnya : anak dapat berbicara, dapat menjaga kebersihan diri dan sebagainya.
Agar tujuan sementara ini dapat tercapai dengan sebaik-baiknya maka pendidikan harus mengetahui masa peka yaitu masa dimana anak masanya / matang untuk mempelajari sesuatu yang akan dicapai dengan tujuan tersebut.
5. Tujuan tidak lengkap
Tujuan ini erat hubungannya dengan aspek-aspek pendidikan yang akan membentuk aspek-aspek kepribadian manusia, seperti misalnya aspek-aspek pendidikan, kecerdasan, moral, sosial, keagamaan, estetika, dan sebagainya.
6. Tujuan perantara / intermedier
Tujuan perantara ini merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain. Misalnya : anak belajar membaca dan menulis, selain agar anak dapat membaca dan menulis juga nantinya diharapkan dapat membantu kelancaran pelajaran-pelajaran lainnya di sekolah.
Keenam tujuan tersebut menurut Langeveld intinya dapat disederhanakan menjadi satu macam saja yaitu “tujuan umum” dimana semua tujuan-tujuan (kelima tujuan yang lainnya) diarahkan untuk pencapaian tujuan umum pendidikan yaitu terbentuknya kehidupan sebagai insane kamil, suatu kehidupan dimana ketiga ini hakikat manusia baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial; dan makhluk susila religius dapat terwujud secara harmonis.
4. Faktor Alat dan Sarana
Alat dan sarana pendidikan merupakan salah satu faktor pendidikan yang sengaja diadakan dan digunakan untuk pencapaian tujuan pendidikan. Pengertian alat dan sarana pendidikan sebagai faktor alat, pembagiannya, dan penggunaannya masing-masing dalam pelaksanaan pendidikan.
a. Pengertian
Dalam ilmu pendidikan alat dan sarana pendidikan ini termasuk faktor alat. Menurut Sutari Imam Barnadib yang dimaksud faktor alat ialah segala sesuatu yang secara langsung membantu terlaksananya pendidikan.
Faktor alat tersebut menurut wujudnya dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Benda-benda yang diperlukan dalam pelaksanaan pendidikan, seperti alat perlengkapan sekolah dan lain-lain yang difungsikan sebagai alat bantu dalam pelaksanaan pendidikan. Sarana pendidikan “yaitu sarana/alat yang digunakan untuk membantu pelaksanaan pendidikan atau sering juga disebut sarana” alat pengajaran. Sarana pengajaran ini dibahas dalam ilmu pendidikan praktis atau ilmu pengajaran.
2. Faktor alat bukan merupakan benda ttapi berupa perbuatan pendidikan yang digunakan untuk pencapaian tujuan pendidikan “Alat pendidikan” yaitu alat yang langsung digunakan untuk pencapaian tujuan pendidikan. Alat pendidikan ini didefinisikan oleh Prof. MJ Langevel, sebagai suatu tindakan atau perbuatan atau situasi yang sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian pendidikan sebagai alat langsung yang digunakan oleh pendidikan itu dapat berupa tindakan atau perbuatan atau situasi yang sengaja diadakan dan digunakan oleh pendidik untuk mencapai tujuan pendidikan.
b. Pembagian / kegunaan
Faktor alat dalam pendidikan dari segi wujudnya dapat dibagi menjadi 2 bagian :
1. Benda-benda yang difungsikan untuk membantu pelaksanaan pendidikan. Khusus di sekolah disebut sarana pendidikan atau sarana / alat pengajar, seperti bangunan sekolah / ruangan belajar, meja kursi belajar, papan tulis, buku, peta dan alat-alat peraga dan alat pengajar lainnya.
2. Pembuatan pendidik, dapat berupa tindakan atau situasi seperti : pengajaran, nasehat, teladan, tata tertib, disiplin, perintah, larangan, ancaman, hukuman dan hadiah/ganjaran perbuatan pendidikan dengan menciptakan situasi misalnya : dinding rumah / sekolah dicat dengan cat putih bersih agar anak mudah melihat kotoran pada dinding tersebut.
Sarana pendidikan dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
1. Sarana pendidikan dalam arti “sarana fisik pendidikan”, seperti : bangunan sekolah, ruang-ruang kelas, meja, kursi, lemari, lampu-lampu dan lain-lain sarana fisik sekolah. Fungsi sarana ini adalah sebagai kelengkapan sekolah guna menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan pendidikan di sekolah.
2. Sarana pendidikan dalam arti sarana / alat pengajaran atau alat punya. Sebagai alat pengajaran seperti : papan tulis, kapur, penghapus, buku-buku dan sebagainya. Sedangkan sebagai alat peraga misalnya : peta / globe, gambar-gambar, model-model benda, dan media pengajaran lainnya. Fungsi sarana pendidikan ini ialah untuk membantu memudahkan guru dan siswa dalam proses pendidikan (proses belajar mengajar).
Alat pendidikan sebagaimana yang telah disebutkan diatas menurut Amir Daien Indrakusuma dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu : alat preventif, dan alat pendidikan represif.
1. Alat pendidikan preventif
Yaitu alat yang bersifat pencegahan. Tujuan digunakannya alat pendidikan ini ialah untuk mencegah / menghindarkan hal-hal yang dapat mengganggu kelancaran proses pelaksanaan / pencapaian tujuan pendidikan.
Yang termasuk alat pendidikan preventif ini adalah :
a. Tata tertib
Yaitu serangkaian peraturan yang harus ditaati dalam suatu situasi atau dalam kehidupan tertentu.
b. Anjuran dan perintah
Anjuran adalah ajakan atau saran untuk berbuat atau melakukan sesuatu yang berguna.
c. Larangan
Larangan hamper sama dengan perintah yaitu sama merupakan suruhan / menekankan suatu keharusan
d. Paksaan
Paksaan adalah suatu perintah dengan kekerasan kepada anak untuk melakukan sesuatu agar perintah lebih diindahkan
e. Disiplin
Adalah adanya kesediaan untuk mematuhi ketentuan / peraturan-peraturan yang berlaku.
f. Pengajaran
Pengajaran adalah pemberian pelajaran atau informasi pengetahuan dari berbagai mata pelajaran yang diajarkan pada peserta didik
g. Teladan
Teladan ialah tindakan atau perbuatan pendidik yang sengaja dilkaukan untuk ditiru anak didik.
2. Alat pendidikan represif
Alat ini juga disebut alat pendidikan kuratif, atau alat pendidikan korektif. Alat pendidikan ini digunakan manakala anak melakukan suatu perbuatan yang dianggap bertentangan dengan peraturan-peraturan atau anak melanggar ketentuan/peraturan yang berlaku.
Alat pendidikan represif ini digunakan dengan tujuan untuk menyadarkan anak agar kembali kepada hal-hal yang benar, yang baik an yang tertib. Adapun alat yang termasuk alat pendidikan represif ini ialah :
a. Pemberitahuan
Pemberitahuan yang dimaksud di sini ialah pemberitahuan kepada anak yang telah melakukan sesuatu perbuatan yang dapat mengganggu atau menghambat jalannya proses pendidikan.
b. Teguran
Teguran sebagai alat pendidikan harus diberikan setelah anak diberikan pemberitahuan
c. Peringatan / ancaman
Peringatan merupakan alat pendidikan yang hanya diberikan kepada anak yang telah beberapa kali melakukan pelanggaran.
d. Hukuman
Hukuman merupakan alat pendidikan yang terakhir dapat dilakukan apabila teguran dan peringatan tidak mampu lagi untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
e. Ganjaran / hadiah
Dari segi fungsi kegunaannya, berbagai alat pendidikan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
1. Mempengaruhi tingkah laku anak didik :
a. Yang bersifat positif mendorong anak didik untuk melakukan serta meneruskan tingkah laku tertentu, seperti : teladan, perintah, pujian dan hadiah.
b. Yang bersifat mengekang agar anak-anak didik menjauhi serta menghentikan tingkah laku tertentu, seperti : larangan, teguran, ancaman, hukuman.
c. Bersifat mencegah dan mengarahkan, seperti : perintah, teladan, larangan.
2. Mempengaruhi perasaan anak didik :
a. Menyenangkan anak didik sehingga cenderung untuk mempertahankan tingkah lakunya yang baik seperti : pujian, hadiah.
b. Tidak menyenangkan atau menyebabkan anak didik menderita, sehingga anak jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya seperti : teguran, ancaman, hukuman.



Menilik Pemanfaatan Teknologi Informasi Oleh Guru di Indonesia
Heni BeritaNET.com, 18 Desember, 2008 02:02:00 | Dilihat 280 kali
Seiring berkembangnya teknologi informasi, seorang guru dituntut mengikuti kemajuan teknologi informasi dan kemudian memanfaatkannya dalam pembelajaran, agar kualitas pendidikan menjadi semakin baik. Menurut salah satu dosen di Universitas Negeri Semarang, Hartoyo, sekarang ini siswa seharusnya sudah dibiasakan menggunakan model komputerisasi dalam belajar, tidak hanya di kelas, namun juga komunikasi di luar kelas.

Seorang dosen dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Agus Priyanto, juga menyampaikan hal yang sama, yakni teknologi guru tidak lagi mendikte siswa dengan soal-soal atau menulis mata pelajaran di papan tulis, namun menggunakan peragkat multimedia atau aplikasi program, seperti presentasi dengan LCD proyektor, dan sebagainya.

Agus menjelaskan, guru mengajar dengan memanfaatkan teknologi menjadi hal yang penting untuk era sekarang ini. Selain perangkat multimedia yang digunakan di dalam kelas untuk mengajar, maka di luar kelas pun guru bisa menggunakan media Internet, seperti website, blog, email, atau hanya sekedar membaca di situs ensiklopedia. Siswa tidak lagi mendapatkan tugas tertulis dari guru, tetapi mereka dapat mengakses tugas ataupun pekerjaan rumah atau PR melalui website atau blog, atau mengirim tugas atau PR ke email guru yang bersangkutan.





SEKELUMIT PENGALAMAN MENGIKUTI SERTIFIKASI GURU
OLeh : Dadang
Letih, lesu, mengantuk dan stress. Demikian gambaran keadaan para guru yang sedang mempersiapkan sertifikasi guru. Denagan hitungan waktu, para guru harus membuka mata, telinga dan pikiran agar segala iinformasi up to date seputar aturan dan ketentuan sertifikasi tidak ketinggalan, Mulai dari telepon genggan (HP) maupun telpon rumah menjadi demikian penting peranannya sebab informasi demikian cepat dan berubah sewaktu-waktu
Salah satu syarat mengikuti sertifikasi adalah keharusan setiap guru untuk membuat portofolio yang berisi segala bentuk dan rangkaian hasil kerja dan prestasi yang harus diwujudkan dalam bentuk susunan sesuai dengan komponen-komponen yang telah ditentukan .
Komponen-komponen potofolio meliputi :
- Kualifikasi Akademik
- Pendidikan dan Pelatihan
- Pengalaman Mengajar
- Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran
- Penilaian dari Atasan dan Pengawas
- Prestasi Akademik
- Karya Pengembangan Profesi
- Keikutsertaaan dalam Forum Ilmiah
- Pengalaman Menjadi Pengurus Organisasi di Bidanga Kependidikan dan Sosial
- Pengalaman yang Relevan dengan Bidang Pendidikan.
Kesulitan yang paling terasa adalah mencari, mengumpulkan dan menyusun berbagai bukti fisik berkaitan dengan keikutsertaaan peran guru dalam berbagai pendidikan dan pelatihan serta keikutsertaan dalam forum ilmiah semenjak menjadi guru. Jika bukti fisik itu sudah tersedia atau terkumpul, maka penyusunan akan relatif mudah. Namun jika belum, maka guru harus mencari atau membuatnya sesuan dengan tuntutan. Pencarian dilakukan mulai dari arsip pribadi masing-masing sampai pada kumpulan arsip yang ada di sekolah. Kesulitan yang akan timbul kalau bukti fisik tidak ada tetapi kita pernah mengikutinya, atau bukti fisik kita buat namun penandatangan yang berwenang sudah tidak ada atau pensiun, celakalah !
Kalau diurut secara garis besarnya, maka keikutsertaan sertifikasi dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut
-- PERSIAPAN
TAHAPAN KERJA -- PENYUSNAN
-- SENTUHAN AKHIR

Kegiatan persiapan dimulai dengan para guru mendapat penjelasan dari berbagai nara sumber yang berkaitan dengan informasi apa itu program sertifikasi guru, untuk apa sertifikasi, bagaimana syarat mengikuti sertifikasi, cara menyusun portofolio serta berbagai aturan dan ketentuan lainnya yang harus dipenuhi. Dalam pelaksanaannya, setiap peserta sertifikasi dibekali (dibeli !! &Mahal lagi) sebuah CD yang berisi tentang petunjuk teknis termasuk berbagai format yang harus diisi.
Tahap penyusunan merupakan tahap yang paling sulit dan memerlukan waktu lama. Dimulai dengan mengumpulkan berbagai bukti fisik termasuk bukti fisik yang harus dilegalisir oleh yang berwenang lalu disusun sesuai petunjuk penyusunan.
Tahapan terakhir adalah nomorisasi halaman, transfer CD yang telah diisi. penggandaan serta penjilidan. Untuk diperhatikan, sebelum berkas dijilid hard cover, cek secara dan bila perlu dua atau tiga kali mengecek agar terhindar dari bongkar membongkar berkas yang telah dijilid.
Dari pengalaman mengikuti sertifikasi, maka berikut ini barangkali beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua.
• Kumpulan mulai dari sekarang berbagai bukti fisik dengan baik terutama yang berkaitan dengan bukti fisik pada komponen pendidikan dan pelatihan serta dalam komponen keikutsertaandalam forum ilmiah.
• Buatlah list dua komponen tersebut disertai denagn kapan, di mana, siapa penyelenggaranya, berapa lama serta tingkat eventnya, seperti tingkal lokal, regional. maupun internasional.
• Susunlah mulai dari sekarang berbagai bukti fisik tersebut sesuai dengan komponen-komponen yang telah ditentukan.
• MIntalah surat tugas manakala mendapat tugas tambahan dari sekolah di samping tugas pokok sebagi guru melaksanakan pembelajaran.
• Perbanyak keiukutsertaan dalam berbagai event yang berkaitan denagn profesi guru seperti penataran, diklat, lokakarya, seminar, simposium maupun dalam berbagai organisasi/kegiatan pengabdian masyarakat.

Untuk Sekolah / lembaga :

• Perbaikan dan mantapkan kearsipan sekolah termasuk arsip dari setiap guru semenjak mereka diangkat menjadi guru.
• Pemeratraan dalam pemberian kesempatan kepada guru untuk mengikuti berbagai kegiatan yang berkaitan dengan tuntutan sertifikasi secara adil dan bijak.
• Persiapkan dan serahkan kepada guru berbagai surat tugas yang bisa dilakukan secara periodik seperti SK Pembagian Tuhas Mengajar maupun tugas tambahan lainnya (ynt).







STRATEGI PEMBELAJARAN PROGRAM KHUSUS BINA DIRI BAGI ANAK TUNAGRAHITA


• 1
• 2
• 3
• 4
• 5
(8 votes)
Oleh: Deded Koswara, M.M.Pd

a. Pendahuluan
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru beraneka ragam. Ada guru yang memulai kegiatannya dengan menunggu pertanyaan dari siswa, ada yang aktif memulai dengan
mengajukan pertanyaan kepada siswa, ada pula yang mulai dengan memberikan penjelasan materi yang akan diuraikan, dan ada yang memulai dengan mengulangi penjelasan tentang materi yang lalu, dikaitkan dengan pelajaran yang baru. Sebagian, ada yang melanjutkan dengan kegiatan menjawab dengan pertanyaan siswa, membentuk kelompok diskusi atau menggunakan program kaset untuk didengarkan bersama. Biasanya, kegiatan pembelajaran itu ditutup dengan tes atau rangkuman materi yang telah dijelaskan.
Setiap guru mempunyai cara sendiri untuk menentukan urutan kegiatan pembelajarannya. Setiap cara dipilih atas dasar keyakinan akan berhasil menggunakannya dalam mengajar. Pemilihan cara mengajar mungkin didasarkan atas intuisi, kepraktisan, atau mungkin pula atas dasar teori-teori tertentu.
Bagi seorang guru, kemampuan menyusun strategi pembelajaran merupakan modal utama dalam merencanakan kegiatan pembelajaran secara sistematis. Apa yang akan diajarkannya bukan saja harus relevan dengan kebutuhan peserta didik dan tujuan pembelajaran. Melainkan juga harus dapat dikuasai, dimiliki dengan baik oleh peserta didik yang diajarnya. Di samping itu, kegiatan pembelajaran juga harus menarik dan bervariasi.
Bagi seorang pengelola program pendidikan, kemampuan menyusun strategi pembelajaran sangat bermanfaat dalam menetapkan materi pelajaran, media, dan fasilitas yang dibutuhkan serta dalam menyarankan penggunaan metode pembelajaran yang lebih tepat kepada guru. Sedangkan bagi guru sebagai pengembang pembelajaran, kemampuan tersebut merupakan tulang punggung dalam menyusun bahan ajar atau membuat prototipe sistem/model pembelajaran.

b. Pengertian
Strategi pembelajaran berkenaan dengan pendekatan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran untuk menyampaikan materi atau isi pelajaran secara sistimatis, sehingga kemampuan yang diharapkan dapat dikuasai/dimiliki oleh peserta didik dan dapat berlangsung secara efektif dan efesien. Untuk itu di dalam strategi pembelajaran terkandung empat unsur/komponen sebagai berikut :
1. Urutan kegiatan pembelajaran, yaitu urutan kegiatan guru dalam menyampaikan isi pelajaran kepada peserta didik dan kegiatan peserta didik dalam merespons materi;
2. Metode pembelajaran, yaitu cara guru mengorganisasikan dan menyampaikan pelajaran, materi pelajaran dan mengorganisasikan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran
3. Media pembelajaran, peralatan dan bahan pembelajaran yang digunakan guru dan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
4. Waktu yang digunakan oleh guru dan peserta didik untuk menyelesaikan setiap langkah dalam kegiatan pembelajaran;
Dengan demikian, strategi pembelajaran merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, metode pembelajaran, media dan bahan pelajaran, serta waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Dengan perkataan lain, strategi pembelajaran dapat pula disebut sebagai cara sistimatis dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Strategi pembelajaran berkenaan dengan bagaimana (the how) menyampaikan isi pelajaran.
Rumusan strategi pembelajaran lebih dari sekedar urutan kegiatan dan metode pembelajaran saja. Di dalamnya terkandung pula media pembelajaran dan pembagian waktu untuk setiap langkah kegiatan tersebut.
c. Komponen Strategi Pembelajaran
Secara keseluruhan strategi pembelajaran terdiri dari empat komponen utama, yaitu :
1. Urutan kegiatan pembelajaran
Komponen Utama yang pertama, yaitu urutan kegiatan pembelajaran mengandung beberapa komponen, yaitu pendahuluan, penyajian dan penutup.
Komponen Pendahuluan terdiri atas tiga langkah sebagai berikut :
a. Penjelasan singkat tentang isi pelajaran.
b. Penjelasan relevansi isi pelajaran baru dengan pengalaman peserta didik, dan
c. Penjelasan tentang tujuan pembelajaran.
Komponen Penyajian juga terdiri atas tiga langkah, yaitu :
a. Uraian
b. Contoh dan
c. Latihan.
Komponen penutup terdiri atas dua langkah sebagai berikut :
a. Tes formatif dan umpan balik dan
b. Tindak lanjut.
2. Metode pembelajaran
Komponen Utama yang Kedua, yaitu metode pembelajaran, terdiri atas berbagai macam metode yang dapat digunakan dalam setiap langkah pada urutan kegiatan pembelajaran. Setiap langkah tersebut mungkin menggunakan satu atau beberapa metode, tetapi mungkin pula beberapa langkah menggunakan metode yang sama
Metode pembelajaran harus mampu menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran dengan cara-cara yang tepat sehingga memberi kemudahan peserta didik dalam belajarnya. Selain itu fungsi metode dalam pembelajaran akan optimal apabila di dalam penggunaannya mampu memberikan kesenangan atau kegembiraan bagi peserta didik.

3. Media
Komponen Utama yang Ketiga, yaitu media pembelajaran, berupa media cetak, dan atau media non cetak seperti misalnya media Audio Visual yang dapat digunakan pada setiap langkah kegiatan pembelajaran, seperti halnya penggunaan metode pembelajaran, mungkin beberapa media digunakan pada suatu langkah atau satu media digunakan untuk beberapa langkah kegiatan pembelajaran
4. Bahan pelajaran
5. Waktu yang digunakan pengajar.

D. Menyusun Strategi Pembelajaran
Penyusunan strategi pembelajaran haruslah didasarkan atas tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai kriteria utama. Di samping itu, penyusunan tersebut didasarkan pula atas pertimbangan lain, yaitu hambatan yang mungkin dihadapi pengembang pembelajaran atau guru, seperti waktu, biaya, fasilitas. Tidak ada strategi yang tepat untuk mencapai semua tujuan. Urutan kegiatan pembelajaran pada penyajian, misalnya, belum tentu selalu UCL (Uraian, Contoh dan Latihan) mungkin dapat berbentuk CUL. Sedangkan urutan kegiatan pembelajaran pada pendahuluan yang tersusun DRT (Diskripsi Singkat, Relevansi dan TP) dan penutup yang terdiri dari TUT (Tes Formatif, Umpan Balik, dan Tindak Lanjut) tampaknya tidak perlu mengalami perubahan.
Setiap urutan kegiatan seperti DRT – UCL – TUT atau urutan yang lain, selalu diikuti pemilihan metode dan media serta penentuan waktu untuk mencapai tujuan pembelajaran khusus.
Khusus mengenai penentuan waktu bagi setiap kegiatan, di samping menggunakan kegiatan sebagai kriteria, juga pemgembang pembelajaran, menggunakan jenis metode dan media sebagai kriteria lain. Ini berarti penentuan waktu setiap kegiatan tersebut dilakukan atas pertimbangan langkah dalam urutan kegiatan seperti D, R, T. U, C, L, T, U, T dan komponen metode dan media yang digunakan. Perubahan pada metode dan media tersebut memungkinkan perubahan waktu yang dibutuhkan guru dan peserta didik. Karena itu penyusunan metode pembelajaran harus dilakukan dengan mengintegrasikan keempat komponen yang tergabung di dalamnya, yaitu urutan kegiatan pembelajaran, metode, media dan waktu. Kekurangan salah satu di antaranya akan menghasilkan strategi pembelajaran yang kurang komperhensif untuk dijadikan dasar dalam pengembangan bahan belajar atau sistem pembelajaran.

E. Memilih dan Menetapkan Metoda pembelajaran
Sebagai cara/strategi guru yang digunakan guru untuk mencapai tujuan pembelajaran, metode pembelajaran terdiri dari berbagai jenis. Setiap metode pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga tidak ada satu metode pun yang dapat dikatakan lebih baik dari metode lainnya.
Satu hal yang harus diingat sehubungan dengan penggunaan metode pembelajaran adalah bahwa tidak satu pun metode yang efektif untuk semua mata pelajaran. Setiap metode pada dasarnya akan efektif hanya untuk materi atau tujuan tertentu. Oleh karena itu dalam kegiatan pembelajaran pemilihan metode menjadi sangat penting artinya.
Untuk memilih suatu metode yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran, terlebih dahulu kita harus mengetahui jenis-jenis metode yang ada, khususnya mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing metode. Selain itu kita juga harus mengetahui tujuan yang akan dicapai, jenis materi, dan peserta didik yang akan mengikuti pembelajaran
Berikut ini adalah sebagian dari metode yang biasa digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran.
a. Metode ceramah
Metode ceramah merupakan bentuk penjelasan guru kepada peserta didik berupa kata-kata dan biasanya diikuti dengan tanya jawab tentang isi pelajaran yang belum jelas. Yang perlu dipersiapkan guru hanyalah daftar topik yang akan diuraikan dan media visual yang sederhana.
Metode ini tepat untuk diterapkan bila :

1) Kegiatan pembelajaran baru dimulai;
2) Waktu terbatas, sedangkan informasi yang akan disampaikan banyak;
3) Jumlah peserta didik banyak, sedangkan guru tidak ada yang membantu dan jumlah yang membantu tidak memadai.
Selain mempunyai berbagai kelebihan, metode ini mempunyai keterbatasan sebagai berikut :
1) Partisipasi peserta didik rendah;
2) Kemajuan peserta didik sulit dipantau;
3) Perhatian dan minat peserta didik tidak dapat dipantau;
b. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi merupakan metode pembelajaran yang mencontohkan pelaksanaan satu keterampilan atau proses kegiatan yang sebenarnya. Penggunaan metode ini mempersyaratkan keahlian guru dalam mendemonstrasikan penggunaan alat atau melaksanakan kegiatan tertentu seperti kegiatan yang sesungguhnya. Setelah demonstrasi, peserta didik diberi kesempatan melakukan latihan keterampilan atau proses yang sama di bawah suvervisi guru.
Metode demonstrasi tepat digunakan bila :
1) Kegiatan pembelajaran bersifat formal, magang (internship), atau latihan kerja.
2) Materi pelajaran berbentuk keterampilan gerak psikomotor, petunjuk sederhana
3) Guru bermaksud menggantikan dan menyederhanakan penyelesaian kegiatan yang panjang, baik yang menyangkut pelaksanaan suatu prosedur maupun dasar teorinya.
4) Guru bermaksud menunjukkan suatu standar penampilan.
Kesulitan penggunaan metode demonstrasi adalah mendapatkan orang yang bukan saja ahli dalam medemonstrasikan keterampilan atau prosedur yang akan diajarkan, melainkan juga mampu menjelaskan setiap langkah yang didemonstrasikannya secara verbal.

c. Metode Penampilan
Metode penampilan berbentuk pelaksanaan praktik oleh peserta didik di bawah supervisi dari dekat oleh pengajar. Praktik tersebut dilaksanakan atas dasar penjelasan atau demonstrasi yang telah diterima atau diamati peserta didik.
Untuk menggunakan metode ini guru harus :
1) Memberikan penjelasan yang cukup kepada peserta didik selama peserta didik berpraktik..
2) Melakukan tindakan pengamanan sebelum kegiatan praktik dimulai untuk keselamatan peserta didik dan alat-alat yang digunakan.
Metode penampilan ini tepat digunakan bila :
1) Pelajaran telah mencapai tingkat lanjutan;
2) Kegiatan pembelajaran bersifat formal, latihan kerja atau magang;
3) Peserta didik mendapatkan kesempatan untuk menerapkan apa yang dipelajarinya ke dalam situasi sesungguhnya;
4) Kondisi praktik sama dengan kondisi kerja;
5) Dapat disediakan suvervisi dan bimbingan kepada peserta didik secara dekat selama praktik;
Kesulitan menggunakan metode ini adalah :
1) Membutuhkan waktu panjang, karena peserta didik harus mendapat kesempatan praktik sampai mencapai hasil yang baik.
2) Membutuhkan fasilitas dan alat khusus yang mungkin mahal, sulit diperoleh, dan dipelihara secara terus menerus;
Membutuhkan guru atau fasilitator yang lebih banyak, karena setiap guru atau fasilitator hanya dapat membantu sejumlah kecil peserta didik
d. Metode Simulasi.
Metode ini menampilkan kegiatan simbol-simbol atau peralatan yang menggantikan proses, kejadian, atau benda yang sebenarnya. Untuk menggunakan Metode Simulasi perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
1) Pada tahap permulaan proses belajar, diperlukan tingkat di bawah realitas. Peserta didik diharapkan mengidentifikasi lokasi tujuan, sifat-sifat benda, tindakan yang sesuai dengan kondisi tertentu, dan sebagainya;
2) Pada tahap pertengahan proses belajar, diperlukan tingkat realitas yang memadai. Peserta didik diharapkan dapat mempelajari sesuatu dalam kaitan dengan pengetahuan yang lebih luas dan memulai mengkoordinasikan keterampilan-keterampilan.
3) Pada tahap akhir, diperlukan tingkat realitas yang tinggi.
4) Peserta didik diharapkan dapat melakukan pekerjaan seperti seharusnya.
Metode ini sesuai diterapkan untuk :
1) semua tahap belajar
2) pendidikan formal atau magang
3) memberikan kejadian-kejadian yang analogis
4) memungkinkan praktik dan umpan balik dengan resiko kecil
5) diprogramkan sebagai alat pelajaran mandiri
Tetapi metode Simulasi ini mempumyai kelemahan sebagai berikut :
1) Biaya pengembangan bahan-bahannya tinggi dan perlu waktu lama
2) Fasilitas dan alat-alat khusus yang dibutuhkan mungkin sulit diperoleh serta mahal harga dan pemeliharaannya.
3) Resiko bagi peserta didik atau guru tinggi


F. Alternatif Pendekatan/ Model Pembelajaran Bina Diri
Pendekatan pembelajaran merupakan strategi implementatif untuk menunjang efektifitas pembelajaran, berikut ini akann disajikan alternatif pendekatan yang memungkinkan dalam pembeljaran Bina Diri.
a. Pembelajaran Tematik
Pendekatan/model pembelajaran tematik merupakan model pembelajaran yang melibatkan konsep-konsep baik dalam satu mata pelajaran lintas mata pelajaran. Tema yang dipilih harus memiliki cakupan yang luas dan dapat membekali siswa untuk belajar selanjutnya. Penggunaan konsep dari tiap mata pelajaran tidak digunakan untuk lateralisasi mata pelajaran, tetapi dijadikan alat untuk mempelajrai dan menjalajahi topik/tema.
Karakteristik pembelajaran tematik ditunjukan dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1) Holistik, suatu peristiwa yang menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran dikaji dari beberapa mata pelajaran sekaligus untuk memahami satu fenomena dari segala sisi.
2) Bermakna, Keterkaiatan antara konsep digunakan untuk menambah kebermaknaan konsep yang dipelajarai dan diharapkan siswa dapat menggunakannya untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata
3) Aktif, pembelajaran dilakukan secara menyenangkan dan peserta didik dapat terlibat aktif.

b. PAKEM
PAKEM, merupakan model pembelajaran yang dianggap efektif diterapkan, dan dirancang dengan mengaktifkan anak, mengembangkan kreatifitas sehingga dapat berjalan efektif tetapi tetap menyenangkan.
Tugas guru dalam pembelajaran adalah menciptakan suasana belajar sehingga peserta didik dapat terlibat aktif dalam pembelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan dan perkembangan siswa.
Yang harus diperhatikan guru dalam melaksanakan PAKEM:
1) Memahami sifat yang dimiliki anak
2) Mengenal anak secara individu
3) Memanfaatkan sikap/prilaku anak dalam pengorganisasian belajar
4) Mengembangkan kemampuan berpikir kriktis, kreatif dan kemampuan memecahkan masalah
5) Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
6) Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
7) Memberikan umpan balik untuk meningkatkan kegiatan belajar
8) Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental

d. Partisipasi Masyarakat
Pembelajran Bina Diri dapat dilakukan dengan model partisipasi masyarakat, karena Bina Diri terkiat langsung dengan aktifitas di kehidupan masyarakat sekita anak. Model partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan melibatkan orangtua dengan program pendidikan sistem ganda (dual system), dimana orangtua dilibatkan langsung dalam aktifitas pembelajaran dari mulai perencanaan dan pembagian tugas dalam melaksanakan aktifitas pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran ini melibatkan keluarga sebagai institusi pasangan untuk mengoptimalkan pembelajaran Bina Diri secara teori dan praktek dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan dari model ini adalah untuk mengoptimalkan pembelajaran Bina Diri melalui kerjasama antara keluarga dan sekolah, untuk akselerasi kemampuan merawat diri bagi anak tunagrahita secara teori dan praktek dalam kehidupan sehari-hari.
Batasan pembelajaran ini adalah :
 Berpusat pada pesera didik
 Adanya kesepahaman dan kerjasama
 Kegiatan pembelajaran dilakukan dalam dua institusi
 Kegiatan teori dan praktek
 Percepatan dan Aksesibilitas Belajar
 Sistem evaluasi Portofolio

e. Konstruktivisme
Model konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar diawali dengan terjadinyan konflik kognitif. Konflik ini dapat diatasi dengan pengetahuan diri dan akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya.
Konflik kognitif terjadi saat interaksi antara konsep pengetahuan awal yang dimiliki anak dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan begitu saja sehingga diperlukan perubahan/modifikasi struktur kognitif untuk mencapai keseimbangan.
Dalam pembelajaran, dilakukan melalui tahapan berikut :
1) Apersepsi, pada tahap ini siswa didorong untuk agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan di bahas, bila perlu guru memancing dengan memberikan pertanyaan tentang fenomena yang sering ditemui, yang terkait dengan konsep/materi yang akan dibahas.
2) Eksplorasi, pada ini siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalaui pengumpulan, pengorganisasian dan penginterpretasian
3) Diskusi dan penjelasan konsep, siswa memberikan penjelasan dan solusi didasarkan hasil observasi, sehingga siswa tidak ragu lagi dengan konsep
4) Pengembangan dan aplikasi, siswa mengaplikasikan pemahaman konseptual melalui kegiatan dan aktifitas sehari-hari



MENGENAL PENDIDIKAN INKLUSIF (1/2)


• 1
• 2
• 3
• 4
• 5
(4 votes)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan.
Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.
B. Tujuan Penulisan Buku
Setelah membaca buku Mengenal Pendidikan Inklusi ini, diharapkan pembaca (terutama para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan) memiliki persepsi yang sama terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif.
II. KONSEP PENDIDIKAN INKLUSI
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa ?prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.?
Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, system evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.
Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan alternatif sebagai berikut:
1.Kelas biasa penuh
2.Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam,
3.Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas,
4.Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa,
5.Kelas khusus penuh,
6.Sekolah khusus, dan
7.Sekolah khusus berasrama.
Di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di Inggris, pada tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa (Warnock,1978), dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari jumlah anak berkelainan (Fish,1985). Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, Sapon-Shevin (O?Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sesbagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
III. LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSI
Penerapan pendidikan inklusif mempunyai landasan fiolosifis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat.
A. Landasan filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajuban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama.Hal ini harus diwujudkan dalam system pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citkan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Landasan yuridis
Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi ini sebenarnya penagasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut di atas.
Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional.
C. Landasan pedagogis
Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
D. Landasan empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.
IV. KONTROVERSI PENDIDIKAN INKLUSI
Seperti halnya di Indonesia, di negara asalnyapun penyelenggaraan pendidikan inklusif masih kontroversi (Sunardi, 1997).
A.Pro Inklusi
Para pendukung konsep pendidikan inklusif mengajukan argumen antara lain sebagai berikut:
1. Belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak;
2. Biaya sekolah khusus relatif lebih mahal dari pada sekolah umum;
3. Sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif pada anak;
4. Banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat;
5. Anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat lainnya.
B.Kontra inklusi
Sedangkan para pakar yang mempertahankan penyediaan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan berargumen sebagai berikut:
1. Peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum;
2. Hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan;
3. Tidak semua orang tua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal;
4. Pada umumnya sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena keterbatasan sumber daya pendidikannya.
Oleh karena itu, meskipun sudah ada sekolah inklusi, keberadaan sekolah khusus (segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan yang memerlukan.
C.Inklusi Moderat
Melihat kontroversi yang lebih bersifat filosofis, Vaughn, Bos, dan Schumm (2000), mengemukakan bahwa dalam praktik, istilah inklusi sebaiknya dipakai bergantian dengan instilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai dengan kebutuhan individualnya. Penempatan anak berkelainan harus dipilih yang paling bebas di antara delapan alternatif di atas, berdasarkan potensi dan jenis / tingkat kelainannya. Penempatan ini juga bersifat sementara, bukan permanen, dalam arti bahwa iswa berkelainan dimungkinkan secara luwes pindah dari satu alternatif ke alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah. Filosofinya adalah inklusi, tetapi dalam praktiknya menyediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Model ini juga sering disebut inklusi moderat, dibandingkan dengan inklusi radikal seperti yang diperjuangkan oleh mereka yang pro inklusi.

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa
Jl. RS. Fatmawati Jakarta Selatan 12410
email : info@ditplb.or.id
http://www.ditplb.or.id

0 komentar:

Posting Komentar

 
Young Leader ◄Design by Pocket, BlogBulk Blogger Templates