Senin, 25 Mei 2009

Selamat Datang Kurikulum Berbasis Kompetensi

Senin, 25 Mei 2009
(Imam Prihadiyoko/ kenedi nurhan)
LUPAKAN dulu ungkapan klasik bahwa setiap ganti menteri (pendidikan)
selalu terjadi pergantian kebijakan di bidang pendidikan, khususnya
menyangkut kurikulum. Lupakan pula untuk sejenak silang pendapat
yang mengikutinya, yang selama ini terkadang malah naik ke panggung
utama pentas pendidikan nasional, menggeser isu pokok yang
sesungguhnya tentang bagaimana upaya meningkatkan kualitas
pendidikan di Tanah Air.

Kalau mulai tahun 2004 ini pemerintah melalui Departemen Pendidikan
Nasional memutuskan memberlakukan kurikulum baru (lagi), yang kali
ini berlabel Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), persoalannya
tidaklah semata-mata soal ganti menteri ganti kebijakan. Di balik
itu ada persoalan lain yang jauh lebih mendasar.

Dari namanya saja sudah terlihat ada sesuatu yang lain. Selama ini,
sejak Indonesia merdeka, kita hanya mengenal nama kurikulum sesuai
tahun penerapannya. Di awal kemerdekaan kita mengenal Kurikulum
1947, kemudian mengalami perubahan pada Kurikulum 1964. Kurikulum
ini hanya bertahan empat tahun, sebelum akhirnya pemerintah
menerapkan Kurikulum 1968 sebagai penggantinya. Tujuh tahun kemudian
muncul Kurikulum 1975, lalu diganti Kurikulum 1984, dan berganti
lagi menjadi Kurikulum 1994. Akan tetapi, kali ini nama kurikulum
pengganti yang digagas sejak awal oleh Depdiknas bukan Kurikulum
2004 misalnya, melainkan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Tidak ada penjelasan resmi mengapa nama kurikulum baru ini
sedikit "menyimpang" dari kebiasaan. Namun, dilihat dari kerangka
dasar konsep penyusunannya, terlihat bahwa kurikulum baru ini memang
memiliki perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan kurikulum-
kurikulum terdahulu.

Dibandingkan Kurikulum 1994 misalnya, yang lebih berorientasi pada
parameter standar materi, KBK lebih menuntut peran aktif guru karena
parameter keberhasilan justru terletak pada kompetensi dasar yang
harus dimiliki oleh peserta didik. Dalam kaitan ini, kurikulum yang
menjadi pegangan dalam proses belajar-mengajar praktis hanya sebagai
acuan dasar. Guru-tentu saja dibantu pihak sekolah dan stakeholders
pendidikan di satuan pendidikan setempat-harus bisa menyusun silabus
pengajaran berdasarkan kebutuhan anak. Dengan kata lain, fungsi
kurikulum kini hanya sebagai kerangka dasar yang harus diterjemahkan
lebih jauh oleh guru dengan melihat potensi masing-masing anak.

Kendati demikian, dalam aktivitas di kelas-atau di mana pun
tempatnya sejauh masih dalam lingkup interaksi belajar-mengajar-guru
bukanlah fokus dari kegiatan belajar. Seperti halnya metode
pengajaran yang dikenal dengan istilah Cara Belajar Siswa Akti
(CBSA), yang begitu populer pada dua dasawarsa lalu, di sini pun
guru lebih berperan sebagai fasilitator. Sebaliknya, peserta didik
sebagai subyek dalam proses belajar-mengajar diberi keleluasaan yang
sangat luas untuk menentukan capaian kompetensi yang harus ia raih.
Peserta didik jugalah yang harus lebih aktif menyampaikan ide,
mencari solusi atas masalah yang dihadapi, dan menentukan langkah-
langkah berikutnya. Dalam kaitan ini guru hanya berperan sebagai
pembimbing, sekaligus pemberi motivasi kepada anak dalam belajar.

IMPLIKASI dari penerapan KBK tentu saja menuntut perubahan
paradigma, baik dalam pengajaran maupun dalam persekolahan sebagai
sebuah sistem. Perubahan itu tidak cuma soal konsep, metode, dan
strategi guru dalam mengajar, tetapi juga menyangkut pola pikir,
filosofi, dan komitmen pada tugas sebagai pendidik.

Tak cuma guru, pihak sekolah dan stakeholders pendidikan pun
dituntut memiliki paradigma baru dalam sistem persekolahan yang
proses pembelajarannya mengacu pada KBK. Sikap sekolah (baca: kepala
sekolah dan yayasan pada lembaga pendidikan swasta) yang selama ini
lebih berperan sebagai penentu segala kebijakan yang ada di
lingkungan belajar harus mulai ditinggalkan. Para stakeholder
pendidikan pun tidak bisa hanya lepas tangan, menyerahkan segala
urusan kependidikan cuma kepada guru dan pihak sekolah. Ketiga unsur
ini harus saling isi, termasuk dalam proses penyusunan silabus
pendidikan yang berfokus pada peserta didik.

Masalahnya, seperti disinyalir oleh tokoh pendidikan Prof Suyanto
PhD, ketika membuat kurikulum baru kita lupa dan selalu beranggapan
bahwa guru-juga sekolah dan stakeholders pendidikan-dianggap serta-
merta mau berubah dan siap melaksanakannya. Peserta didik pun kita
kira semua serba hebat dan akan bisa menguasai berbagai kompetensi
yang ditularkan lewat serangkaian kegiatan belajar-mengajar yang
sudah disiapkan itu untuk bekal hidup mereka kelak.

"Padahal, semua orang-termasuk guru-pada hakikatnya tidak suka
berubah tanpa ada upaya nyata dari inovator untuk mengubahnya," kata
Suyanto.

Lebih celaka lagi bila sikap para guru setali tiga uang dengan
ketika mereka menerapkan metode CBSA yang menyertai pelaksanaan
Kurikulum 1984. Dengan dalih siswa yang harus lebih aktif dalam
belajar, guru lalu hanya ongkang-ongkang kaki di ruang guru sambil
ngerumpi atau bermain catur, atau keluyuran di luar kelas. Tugas-
tugas untuk peserta didik pun lalu menumpuk. Anak dibiarkan belajar
sendiri tanpa bimbingan, sementara peran guru sebagai fasilitator
justru terbengkalai.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Sejak sosialisasi KBK
dilaksanakan, menyusul rencana penerapannya mulai tahun ajaran
2004/2005, para guru terus dijejali pertanyaan dan pernyataan
seputar implementasi kurikulum baru ini. Setiap ada forum pertemuan
yang melibatkan para guru, masalah seputar KBK selalu dimunculkan.
Seperti layaknya bunyi iklan sebuah produk minuman, di mana saja dan
kapan saja selalu ada pembicaraan tentang KBK.

Model pertemuannya pun beragam, juga dengan narasumber yang memiliki
tingkat pemahaman beragam pula. Di sisi lain, tingkat kemampuan guru
menangkap dan memahami informasi baru itu tentu saja berbeda-beda
sehingga pemahaman mereka pun tidak utuh, bahkan tak jarang keliru.

Dalam pemahaman sebagian besar guru, apa yang disebut KBK itu tidak
berbeda jauh dibandingkan kurikulum-kurikulum terdahulu. Mereka
melihat bahwa perbedaannya hanya pada label "kompetensi"-nya itu,
yang secara sempit dipahami sebagai upaya untuk memberi keterampilan-
keterampilan (vokasional) agar peserta didik bisa langsung terjun ke
tengah kehidupan. Dalam kaitan ini, KBK lalu disejajarkan dengan
program life skills yang secara kebetulan mulai digalakkan hampir
bersamaan dengan program sosialisasi kurikulum baru tersebut.

Penyempitan makna dari pengertian yang sesungguhnya semacam ini
memang bukan hal baru dalam pelaksanaan di lapangan. Lihat saja
ketika pemerintah pusat membuat semacam kebijakan agar masing-
masing daerah memasukkan muatan lokal dalam kurikulum belajar anak
SD. Sebagian besar daerah lalu secara serampangan menerjemahkannya
dengan memberikan pelajaran bahasa dan sastra daerah atau kesenian
lokal. Hasilnya, apa yang disebut muatan lokal itu lalu sekadar
menjadi mata pelajaran pelengkap, yang keberadaannya bahkan
cenderung hanya memberatkan peserta didik. Sulit dicerna dengan akal
sehat bila anak-anak SD di daerah Pamulang, Ciputat, dan Bumi
Serpong Damai, misalnya-yang sehari-hari berbahasa Indonesia dialek
Jakarta dan tinggal di lingkungan enclave-enclave masyarakat Betawi-
malah diwajibkan mengikuti pelajaran bahasa Sunda hanya karena
secara geografis tiga wilayah ini merupakan bagian dari Kabupaten
Tangerang (ketika itu Tangerang masuk dalam Provinsi Jawa Barat,
kini di bawah Provinsi Banten). Lalu apa manfaat nyata belajar
bahasa Sunda bagi anak-anak pinggiran metropolitan itu?

"Ya, paling tidak untuk sekadar guyonan bahwa kita belajar bahasa
Sunda," kata seorang guru yang juga adalah orangtua murid. Kenyataan
ini sungguh menyedihkan. Proses dan hasil pendidikan pada akhirnya
hanya berfungsi sebatas guyonan, cuma lantaran terjadi
kesalahkaprahan dalam menerjemahkan suatu kebijakan.

Akankah nasib KBK menuai hasil semacam itu? Semua pihak, terutama
pembuat kebijakan di tingkat pusat, tentu saja tidak ingin menerima
kenyataan seperti itu. Jika demikian, lalu apa yang mesti dilakukan?

Dalam pandangan Suyanto, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang
juga mantan Ketua Komite Reformasi Pendidikan, demi suksesnya
implementasi KBK, maka pertama- tama kita perlu mengajak guru untuk
berubah: mengajak mereka agar mau mengadopsi inovasi ke dalam
praksis pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Konsekuensinya,
guru harus dilatih bagaimana mempersiapkan semua model pendekatan
baru dalam implementasi KBK. Sebutlah seperti pembuatan satuan
pelajaran, metode pembelajarannya, alat bantunya, evaluasinya,
perubahan filosofinya, pergeseran paradigma interaksi pembelajaran
dengan siswa, dan segala hal yang terkait dengan itu.

"Tanpa adanya persiapan yang baik dilihat dari aspek profesionalisme
guru, sulit dibayangkan akan terjadinya keberhasilan dalam
pelaksanaan KBK. Guru harus diperkenalkan dengan berbagai metode
pembelajaran, seperti inquiry, discovery, dan juga contextual
learning. Tak kalah penting, leadership kepala sekolah juga
dibutuhkan untuk memberi dukungan terhadap perubahan di sekolah.
Infrastruktur sekolah juga perlu diperbaiki. Pendeknya, masih banyak
pekerjaan rumah bagi kita untuk berbenah dalam rangka
mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi," kata Suyanto.

Mengapa yang pertama-tama harus berubah adalah guru? Jawabnya
sederhana. Guru adalah ujung tombak keberhasilan sebuah kebijakan
bidang pendidikan karena merekalah tokoh yang bersentuhan langsung
dengan kondisi riil di lapangan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya
bila semua pihak-terutama pemerintah-harus mendorong dan mendukung
agar guru bisa mengembangkan diri untuk bisa menjadi penggerak dari
sebuah perubahan. Dan memang, seperti pernah dikemukakan oleh tokoh
pendidikan Prof Dr Winarno Surakhmad, "Dalam konteks reformasi
pendidikan, khususnya dalam usaha meningkatkan mutu pengajaran,
titik masuk yang paling strategis adalah dengan meningkatkan
kemampuan guru."

Dalam kaitan dengan rencana pengimplementasian KBK, pertanyaan
mendasar yang harus dijawab oleh para pemegang kebijakan adalah:
sudahkah guru sebagai agen perubahan mendapat bekal yang memadai
untuk melaksanakan kurikulum baru tersebut? Sudahkah guru mendapat
pelatihan (bukan sekadar penataran-penataran seperti yang dilakukan
selama ini) secara terarah agar mereka benar-benar memahami apa dan
bagaimana sesungguhnya kurikulum baru ini?

Jika melihat kebingungan pada kebanyakan guru, yang antara lain
ditandai munculnya beragam pemahaman terhadap KBK, menunjukkan bahwa
sesungguhnya guru belum mendapat informasi yang memadai tentang
kurikulum baru ini. Jika informasi dan pemahaman para guru sebagai
pelaksana di lapangan belum cukup memadai, hanya sepotong-sepotong,
bahkan tak sedikit yang keliru, bagaimana mungkin mereka bisa
mengimplementasikannya di kelas secara benar, sesuai apa yang
diinginkan?

Entah apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kurikulum yang
dipersiapkan sejak tahun 1999 dan memasuki proses pematangan tahun
2000, lalu dua tahun kemudian (2002) masuk ke tahap sosialisasi-
meski program sosialisasinya baru berlangsung efektif pada tahun
jaran 2003/2004, ternyata muatannya belum sepenuhnya dipahami oleh
pihak sekolah dan terutama guru. Di luar sekolah-sekolah (negeri)
yang menjadi tempat uji coba pelaksanaan KBK, serta beberapa sekolah
swasta yang sejak awal memang dikenal inovatif, umumnya pihak
sekolah masih merasa gamang menerima kehadiran kurikulum baru ini.

Boleh jadi, karena itu pula pemerintah yang tadinya akan menerapkan
kurikulum baru ini secara penuh mulai tahun ajaran 2004/2005-setelah
sebelumnya sempat tertunda dari rencana semula tahun ajaran
2003/2004-tampak ikut gamang. Kabar terakhir, melalui Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, akhirnya diputuskan
bahwa pengimplementasian kurikulum baru ini tidak akan dipaksakan
secara serentak. Sekolah yang sudah siap boleh menggunakan Kurikulum
Berbasis Kompetensi, sedangkan yang belum siap tetap bisa
menggunakan kurikulum lama.

"Penerapan kurikulum ini masih membutuhkan waktu untuk sosialisasi
dan uji coba," kata Indra Djati Sidi.

KONON, ide di balik lahirnya kurikulum baru ini didasarkan pemikiran
bahwa bakat dan kemampuan peserta didik pada tiap jenjang dalam satu
satuan pendidikan berbeda-beda. Secara sederhana, karakteristik
kemampuan peserta didik itu diterjemahkan melalui semacam kriteria:
anak yang cerdas, biasa-biasa saja, dan lemah.

Mengingat karakteristik kemampuan setiap anak berbeda, maka dirasa
perlu disusun suatu kurikulum yang memungkinkan tiap anak bisa
memiliki kompetensi dasar, sesuai bakat dan kemampuan masing-masing.
KBK dianggap sebagai jalan keluar, di mana untuk tiap jenjang dalam
satu satuan pendidikan ada semacam ketentuan menyangkut kompetensi
minimal yang harus dipenuhi. Sebab, kurikulum baru ini hanya memuat
hal-hal pokok menyangkut kompetensi dasar apa saja di tiap tingkatan
pendidikan.

Bagi daerah atau sekolah yang merasa tidak cukup dengan standar
minimal tadi bisa mengembangkannya sesuai kebutuhan. Pengayaan
materi untuk menunjang tingkat kompetensi yang diinginkan terbuka
lebar. Lebih jauh lagi, dengan tetap mengacu pada KBK, sekolah
bahkan dimungkinkan mengembangkan kurikulum sendiri sesuai apa yang
mereka inginkan.

Keleluasaan semacam ini sekaligus dimaksudkan untuk memberi
pengalaman belajar yang bermakna bagi sekolah dan peserta didik.
Keleluasaan ini juga bisa dimaknai sebagai bagian dari upaya
menanamkan semangat demokratisasi di bidang pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Young Leader ◄Design by Pocket, BlogBulk Blogger Templates